Page Detail

Upaya Menghemat Penggunaan Kertas  Dosen Sastra Indonesia FIB UNS Kenalkan Dluwang Pada Mahasiswa

Upaya Menghemat Penggunaan Kertas Dosen Sastra Indonesia FIB UNS Kenalkan Dluwang Pada Mahasiswa

Masyarakat pada umumnya bersifat semenjana dalam aspek pelestarian dan perawatan lingkungan, bisa diakui bahwa kita juga terkadang abai untuk menanam tumbuhan guna menciptakan lingkungan hijau yang asri. Anggapan tersebut dipatahkan oleh Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS), pasalnya Dosen Program Studi (prodi) Sastra Indonesia FIB UNS, Asep Yudha Wirajaya, S.S., M.A., beliau mengajak mahasiswa yang tergabung dalam peminatan filologi Melayu mengenal dan menanam Dluwang.

Bertempat di Taman Dewa Ruci (TADERU) sebanyak 15 orang berpayung bumantara cerah pada Senin pagi (04/09/2023), saling gotong royong menanam bibit Dluwang. Asep Yudha ditemu di sela kesibukannya beliau menjelaskan secara detail tentang apa itu Dluwang. “Dluwang merupakan jenis tumbuhan berbunga anggota suku Ara-araan atau Moraceae, masih satu kelompok dengan beringin, bodhi, loa, serta murbei atau mulberry, sehingga dalam bahasa Inggris juga disebut sebagai paper mulberry” tuturnya.

Dluwang berasal dari Asia daratan, mencakup Taiwan, Tiongkok, Jepang, Korea, Indochina, Burma, dan India. Karena pemanfaatannya, tumbuhan ini telah dibudidaya ke berbagai tempat, seperti Asia Tenggara maritim (Nusantara). Kegunaan tumbuhan ini dapat dijadikan bahan pakaian, pelapis, bahan tas, dan media tulis atau kertas. Kertas yang dibuat dari kulit kayu digunakan sebagai pengganti media tulis dan gambar di Jawa dan beberapa pulau lain.

“Banyak naskah kuna Nusantara menggunakan Dluwang sebagai media penulisannya di saat kertas modern belum diperkenalkan. Kertas Dluwang yang diperkeras dipakai dalam wayang beber sebagai media untuk menggambar. Selain itu, Dluwang dianggap sbg kertas suci yang dikenal dengan istilah Ulan Taga, yang digunakan dlm upacara ngaben (umat Hindu)” jelas Asep Yudha.

Asep Yudha membenarkan bahwa Dluwang dapat dijadikan jalur alternatif untuk menekan penggunaan kertas cetak (HVS). “Sangat bisa karena kualitas kertas dluwang bisa bertahan kurang lebih 200 tahun dalam iklim tropis tanpa ada proses pengawetan sama sekali hal ini berdasarkan hasil penelitian Prof. Isamu Sakamoto. Bahkan, kualitas kertas Dluwang jauh lebih unggul dibandingkan kertas Washi dari Jepang” terangnya.

Akhir perbincangan Asep Yudha menenkankan bahwa kegiatan ini merupakan upaya fakultas menggenapi misi Green Campus, dari aspek penghematan menggunakan kertas HVS. “Mari kita komparasikan antara kertas Dluwang dengan kertas HVS, berfokus pada poin berapa lama kertas tersebut dapat menyimpan suatu tulisan, Dluwang mampu bertahan hingga 200 tahun, sedangkan kertas HVS akan hancur dengan sendirinya dalam kurun waktu 50 tahun” pungkas Asep (Gar/Rensi)