“Surat untuk Kartini Masa Depan” Diskusi Ringan bersama Rianna Wati, S.S., M.A., Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB UNS
Atmosfer peringatan hari Kartini selalu pekat setiap tahunnya dengan berbagai macam kegiatan meriah, mulai dari lomba bertopik perempuan, kontes pakaian adat, seminar keperempuanan, hingga gebyar acara di lini masa yang serba perempuan. Namun terkadang sebagian dari kita lupa bahwa hakikat perjuangan R.A. Kartini bukan hanya sebatas permukaan emansipasi perempuan, tapi lebih jauh lagi tentang kesetaraaan gender, utamanya adalah pendidikan. Perjuangan R.A. Kartini melalui pendidikan itu sekarang telah menempatkan perempuan berada di segala ranah dengan kompetensi yang sama dengan laki-laki. Tak sedikit prestasi yang ditorehkan kaum perempuan untuk kemajuan bangsa ini., untuk itu Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNS meramu beberapa tulisan guna memotivasi para Kartini baru melalui artikel bertajuk Surat Untuk Kartini Masa Depan.
Begitu pula kaum perempuan yang berada di dunia akademisi. Di Fakultas Ilmu Budaya UNS, kaum perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya. Salah satunya adalah Rianna Wati, S.S., M.A. pengajar prodi Sastra Indonesia yang menjadi dosen sejak tahun 2006. Selain mengabdi dengan menunaikan Tridarma perguruan tinggi, perempuan kelahiran Wonogiri itu juga telah menghasilkan karya sastra berupa cerpen, novel, dan karya fiksi lainnya. Tulisannya acapkali menghadirkan tokoh perempuan yang pintar, kritis, idealis, dan religius.
Dengan menjaga jarak dan bermasker di ruang prodi Sastra Indonesia Selasa pagi (20/04/2021), kami saling menyambung dialog terkait Kartini dan karya dosen pengampu mata kuliah Kritik Sastra Feminis tersebut. Perbincangan awal kami tergelitik akan penyebutan wanita atau perempuan, dengan tanpa jeda Rianna memilih perempuan. Menurutnya perempuan berakar kata dari empu, seseorang yang dihargai dan dihormati.
“Jika memilih penyebutan wanita atau perempuan saya memilih perempuan. Berakar kata empu seseorang yang dihargai dan dihormati. Bagi sebagian kaum feminis wanita diartikan wani ditata (bersedia untuk ditata), dari hal tersebut ada kesan bahwa perempuan itu harus selalu ditata, padahal sosok perempuanpun juga mampu menata” ungkap Rianna.
Hari Kartini menurut Rianna Wati
Substansi hari Kartini bagi sebagian orang menjadi beragam, tergantung pada sudut pandangnya. Namun yang paling jelas menurut Rianna, hari Kartini adalah wujud kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam aspek pendidikan.
“Kalau kita melihat sejarah, dulunya saat kolonialisme Belanda, memang ada perbedaan tentang hak mendapat pendidikan ini. Pribumi hanya sebagian kecil saja yang mampu mendapat pendidikan di sekolah-sekolah Belanda, itu pun laki-laki karena perempuan masih dianggap second person yang hanya bekerja di ranah domestik,” ungkapnya.
Dosen yang juga mengajar Kritik Sastra Feminis ini menyinggung bahwa Kartini sebagai anak bupati mempunyai privilege sehingga bisa bergaul dengan perempuan-perempuan Belanda sebagaimana kita bisa membacanya dalam surat-surat Kartini. Dari situlah dia mempunyai cara berpikir melampaui perempuan pribumi pada saat itu di tanah air. Kartini ‘melihat’ perempuan-perempuan Eropa yang maju karena mendapatkan pendidikan yang sejajar dengan laki-laki dan dia berusaha mewujudkan itu di lingkungannya. Maka berdirilah sekolah pertama Kartini untuk para perempuan di sekitarnya.
“Sebenarnya tak hanya Kartini yang mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan di tanah air. Ada Dewi Sartika di Bandung, Rohana Kudus di Sumatera, dan lainnya. Namun mengapa Kartini yang selalu dikenang? Lepas dari polemik sejarah, saya ingin menyederhanakannya; karena Kartini menulis. Surat-surat Kartini yang ditinggalkannya itu telah menjadi jejak yang sangat berharga dan sejarah telah mencatatnya,” ujar Rianna menambahkan.
Menurutnya, hikmah lain yang bisa diambil dari sosok Kartini yang berkaitan dengan dunia pendidikan adalah menulis. Dalam forum-forum yang diisinya, dosen yang juga aktif terlibat di organisasi kepenulisan Forum Lingkar Pena itu selalu mengajak menulis. Tulisan akan banyak memberikan manfaat karena seseorang yang menulis pastilah berpikir sistematis, terasah memilih diksi dan terampil menggunakannya.
“Jadi peringatan Hari Kartini itu yang diasah intelektualnya, bukan body goal atau parade pakaian yang kadang terkesan mubazir dan kehilangan makna Kartini-nya” tambahnya.
Perempuan dalam karya Rianna Wati
Sebagai penulis, Rianna kerapkali menghadirkan tokoh-tokoh perempuan dalam karyanya. Tokoh dalam karya sastra bisa menjadi ‘wadah’ pemikiran penulis dalam menyampaikan gagasannya. Begitupun tokoh perempuan yang dihasilkannya, misalnya dalam novel Salju Sungai Seine yang diterbitkannya akhir tahun lalu. Ada tokoh Amara, perempuan berkarakter dan cerdas yang berhasil meraih beasiswa studi lanjut di Sorbonne Paris. Amara yang merantau di negara Napoleon Bonaparte itu tetap berdiri dalam terpaan angin modernisasi, hedonisme dan berbagai ideologi. Dia tetap lantang bersuara mengenai hak asasi, feminisme, kesetaraan gender, dan universalisme Islam.
Selain itu, tokoh perempuan yang dimunculkan dalam cerpen atau novelnya adalah perempuan-perempuan mandiri yang mampu menyelesaikan permasalahan kehidupannya. Banyak kejadian sehari-hari yang menjadi sumber ide untuk diangkat menjadi tulisan. Relasi perempuan dengan laki-laki, dengan keluarga, dengan teman, atau bahkan dalam dunia kerja dan perubahan zaman. Semua bisa saja menimbulkan masalah jika tidak ada pegangan yang kokoh. Karenanya menurut Riana, religiusitas adalah hal yang pokok dalam kehidupan ini. Nilai-nilai agama dan moral harus menjadi filter dan benteng yang kokoh atas munculnya pemikiran-pemikiran yang bisa jadi menjerumuskan perempuan. Begitupun dalam dunia fiksi yang dirangkainya, selalu ada jejak religiusitas yang ditinggalkannya.
“Meskipun fiksi itu imajinasi, tidak serta merta kita bisa bebas menuangkan cerita. Bagi saya, sastra itu harus memberikan manfaat bagi pembacanya, yaitu mendidik dan menghibur. Karenanya, dalam menulis karya saya berusaha memunculkan nilai-nilai positif yang bisa diambil hikmahnya oleh pembaca.”
Epilog
Diskusi menarik tentang Kartini dan karya perempuan, mengerucut pada pesan untuk perempuan Indonesia. Menurut Rianna Wati, seyogyanya sosok Kartini masa kini dan masa depan harus kembali pada fitrahnya sebagai perempuan.
“Karena di luar sana banyak yang salah memahami emansipasi, dan ini bukan hanya untuk perempuan saja, tapi juga laki-laki. Cara pandang laki-laki juga harus dikonstruk bahwa laki-laki dan perempuan itu sejajar, bukan didikotomikan. Percuma kalau perempuannya berpikir maju dan sejajar tapi laki-lakinya masih menganggap perempuan sebagai second person atau objek”
Dia mencontohkan dalam keseharian, ada perempuan yang menganggap emansipasi itu jadi tidak mau melayani suami, tidak mau masak, tidak mau ngurus rumah tangga. Padahal dalam konsep kesejajaran, pekerjaan itu harus dilakukan bersama-sama atau saling. Maka baik laki-laki atau perempuan, keduanya harus punya cara pandang yang sama tentang peran.
Akhirnya, para perempuan harus cerdas dan terus belajar. Dunia terus berkembang, ilmu pengetahuan akan selalu dinamis, dan perempuan akan tetap bisa mengikutinya sepanjang dia mau belajar dengan tetap berpegang pada fitrahnya. Fitrah kemanusiaannya, fitrah agamanya, fitrah perempuannya.
Majulah terus Kartini Indonesia! (Rensi)