Page Detail

Menyibak Makna Dongeng Kancil Dosen Prodi Sastra Indonesia  Jadi Narasumber di Jagongan RRI Surakarta

Menyibak Makna Dongeng Kancil Dosen Prodi Sastra Indonesia Jadi Narasumber di Jagongan RRI Surakarta

Mengayuh kembali ingatan kita pada dongengg Kancil, Dosen Program Studi (prodi) Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS), Bagus Kurniawan, SS., MA., menjadi narasumber dalam Jagongan Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta. Bagus memberi pemahaman baru tentang dongengg tersebut, menurutnya dongengg Kancil sebenarnya suatu teks yang direkonstruksi oleh kolonial untuk mengidentifikasi Bumiputera.

Diskusi ini disiarkan langsung melalui jaringan 95.2 FM pada Jumat pagi (28/07/2023). Bagus dalam materinya yang berjudul Dongengg Kancil di Melayu dan Jawa beliau menyibak lebih dalam ruang gagasan yang ingin di usung oleh dogeng Kancil. Menurutnya dongeng Kancil terdapat unsur politik yang ingin disuntikkan kolonial pada pribumi, dongeng tersebut diramu sedemikan rupa agar mudah dicerna dan dipahamai bahwa Kancil lekat mengerucut pada Bumiputera.

 

“Dongengg Kancil merupakan dongengg yang sangat terkenal. Dongeng Kancil yang sangat terkenal adalah Kancil Mencuri Mentimun atau dalam bahasa Jawa Kancil Nyolong Timun.  Kancil selalu digambarkan sebagai binatang lemah dan suka menipu serta gambaran binatang yang pemalas. Pada kenyataannya Kancil sebenarnya tidak suka memakan buah ketimun.  Kancil Nyolong Timun sebenarnya suatu teks yang direkonstruksi oleh kolonial untuk mengidentifikasi Bumiputera” jelas Bagus.

Dongeng Kancil sendiri berasal dari India kemudian menyebar ke Asia Tenggara, misalnya di Melayu Kancil dikenal sebagai penguasa rimba dengan julukan Syekh Alim di Rimba. Dongeng Kancil kaya akan versi berawal dari Kancil yang pemalas dan suka mencuri, kemudian Kancil diceritakan sebagai tokoh bijaksana serta lahir menjadi solusi. “Kolonial memang menerapkan politik sastra. Sebelum terbit karya sastra dikoreksi sesuai politik kolonial, sebagai contoh ada Nota Rinkes yang mengatur karya sastra yang akan terbit” pungkas Bagus. (Gar/Rensi)