Page Detail

Membahas Retradisionalisasi di Surakarta, Kaprodi Ilmu Sejarah FIB UNS Menjadi Pembicara Serial Seminar Nasional Sejarah UGM

Membahas Retradisionalisasi di Surakarta, Kaprodi Ilmu Sejarah FIB UNS Menjadi Pembicara Serial Seminar Nasional Sejarah UGM

Dr. Susanto, M.Hum dosen prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNS menjadi pembicara dalam Serial Seminar Nasional Sejarah dengan tajuk “Menulis Masa Silam, Menatap Masa Depan” yang diadakan oleh Fakulas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gajah Mada (UGM) pada Jumat (05/02/2021) pukul 19.00 WIB melalui platform Zoom Cloud Meeting. Dalam kegiatan tersebut Dr. Susato memberikan pemaparan tentang “Retradisionalisasi Pada Akhir Kolonial di Surakarta 1923-1940”.

Melalui pembawaan yang tenang, Kepala Program Studi Ilmu Sejarah FIB UNS dengan detail menjelaskan perihal retradisionalisasi yang diurutkan menjadi tiga periode. Yaitu, terjadinya pola ikatan baru, peluang dalam krisis, dan kembali kepada tradisi mencapai eksistensi.

“Retradisionalisasi  berawal dari inisiatif dalam menjalin hubungan baru yang diambil oleh pemerintah kolonial Belanda, karena saatnya tidak memungkinkan lagi untuk menonjolkan superioritas. Ketika situasi krisis melanda Hindia Belanda dan sikap Sociaal Democratische Arbeid Partij (SDAP)  yang sangat anti terhadap gerakan nasionalis dan revolusioner, tanpa disadari kondisi itu telah memberi peluang bagi berkembangnya gerakan yang tidak berorientasi pada radikalisme. Dalam menyikapi krisis dan tekanan politik, di Surakarta muncul aktivitas yang cenderung berorientasi pada kebudayaan. Kecenderungan itu berupa tindakan kembali ke tradisi yang tidak lain merupakan bentuk Jawanisasi” jelas Dr. Susanto.

Dalam materinya dosen kelahiran Sleman ini juga memaparkan beberapa bukti terkait pergerakan retadisionalisasi. Bukti yang paling kentara untuk menggambarkan hal tersebut adalah simbolisasi Jawa De Javasche Bank dan upacara perkawinan putera Kapiten Cina Kwik Tjin Gwan di Surakarta yang berlangsung dengan tata cara Jawa.

Di tengah proses simbolisasi identitas Jawa yang dilakukan oleh kaum pribumi ternyata pada saat yang sama pula pemerintah secara formal ikut mendukung langkah itu. Otoritas De Javasche Bank pada saat krisis itu dengan sengaja menerbitkan sejumlah satuan mata uang kertas yang bergambar wayang seperti satuan ƒ.10 bergambar Antasena dan Pregiwa (1934), ƒ.25 menampilkan gambar Kresna dan Sembadra (1935), ƒ.200 Sembadra dan Gatotkaca, serta ƒ.1000 dengan gambar Janaka dan Kresna (1938). Bukti lain dari momen kembali ke tradisi Jawa ini adalah upacara perkawinan putera Kapiten Cina Kwik Tjin Gwan di Surakarta berlangsung dengan tata cara gaya Jawa. Sebetulnya di Jawa Tengah tata cara semacam itu sudah lazim terjadi di lingkungan Komunitas Tionghoa, namun untuk perkawinan putera Kapiten Cina ini memang unik. Tata cara itu bukan hanya menyangkut pakaian yang digunakan mempelai pengantin, namun seluruh urutan prosesi maupun iringan musik menggunakan cara Jawa” ungkapnya.

Kegiatan yang dimoderatori oleh Dr. Arif Akhyat, M.A (dosen FIB UGM) ini membawa kita untuk mengilhami kembali jargon dari Ir. Soekarno  “Jas merah”. Lewat sejarah kita mampu memperkuat fondasi melangkah  guna menapaki mimpi di masa depan, jika sejarah menjadi guru kebijaksanaan, pelaku sejarahlah yang mengkongkritkan keteladanan.  Serial Seminar Nasional Sejarah FIB UGM ini diadakan dua mingguan sekali setiap Jumat malam, mulai 22/01/2021 sampai dengan 28/05/2021. (Rensi)