Dua Dosen FIB UNS Menggali Kesempurnaan Jiwa dalam Puisi Jawa melalui Jagongan RRI
Kerja sama yang sudah terjalin antara Riset Grup Filologi Melayu Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta, membuahkan suatu kegiatan diskusi yang apik guna mencerdaskan bangsa. Kegiatan tersebut bertajuk Jagongan, kali ini (21/07/2023) Prof. Dr. Istadiyantha, M.S., Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB UNS dan Siti Muslifah, S.S., M.A., Dosen Program Studi Sastra Daerah FIB UNS hadir sebagai narasumber.
Mengangkat diskusi tentang Konsep Kesempurnaan Jiwa dalam Puisi-puisi Jawa. Membuka Jagongan dengan menyinggung isi puisi Nusantara, Prof. Istadiyantha menyatakan bahwa puisi-puisi di Nusantara umumnya menyatakan tentang suatu keindahan. “Mengutip Vladimir Braginsi puisi-puisi Nusantara menyiratkan suatu keindahan, puisi tersebut bermanfaat dalam menyempurnakan jiwa manusia atau katarsis. Jawa sendiri bisa berupa tembang macapat, metrum Dhandhanggula sering disebut sebagai Kidung Rumeksa ing Wengi” jelasnya.
Melengkapi pemaparannya, Prof. Istadiyantha juga menjelaskan bahwa kidung pada sifatnya mengajak orang untuk tirakat atau berjaga. “Untuk mencapai kesempurnaan jiwa manusia perlu melakukan tirakat, jika orang bertirakat maka dia akan diselimuti oleh rasa aman yang datangnya dari Allah. Umar Bin Khattab merupakan contoh nyata yang bisa kita jadikan tauladan tentang bertirakat” imbuhnya.
Siti Muslifah dalam pembahasannya mengupas tentang kidung. Menurut Dosen pengampu mata kuliah Sastra Mistik tersebut mengklasifikasikan bahwa kidung tergolong dalam macapat. “Kidung ini menceritakan tentang seseorang atau tokoh tertentu. Misalnya Surandaka yang merupakan kidung yang berisi tentang kisah Sura, seorang punggawa Majapahit yang memberontak, kemudian Ranggalawe yang juga menceritakan tentang pemberontak terhadap pemerintahan Majapahit” ujarnya.
Setiap karya sastra pasti terdapat suatu nilai luhur yang bisa diambil untuk bekal kehidupan, begitupun juga dalam sastra Jawa didalamnya banyak terkandung ajaran untuk menuntun kehidupan. Namun sebagai karya sastra yang menggunakan bahasa daerah terdapat kendala jika segmennya adalah anak jaman sekarang, mereka cenderung menepikan bahasa daerah. “Nah, mari kita bekerja bersama untuk menanamkan pada generasi penerus, bahwa budaya dan bahasa daerah itu adalah jati diri, wajah keutuhan serta keluhuran bangsa” pungkas Siti. (Gar/Rensi)