Page Detail

BEM FIB UNS, Gelar Dialog Kesusastraan  Bertajuk “Sastra Sebagai Cerminan Sekaligus Pembentuk Ke-Indonesia-an”

BEM FIB UNS, Gelar Dialog Kesusastraan Bertajuk “Sastra Sebagai Cerminan Sekaligus Pembentuk Ke-Indonesia-an”

 

 

Walau gelap pandemi Covid-19 menghantui, sastra haruslah tetap menyala hadir sebagai penyeka dan penenangan jiwa. Hal itu diilhami oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Budaya (FIB), UNS, dengan menginisiasi dialog kesusastraan bertajuk “Sastra Sebagai Cerminan Sekaligus Pembentuk Ke-Indonesia-an” pada Jumat (18/12), melalui platform Zoom Meeting. Hadir sebagai narasumber Asep Yudha Wirajaya, S.S., M.A (Sekretaris Organisasi Profesi MANASSA (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) dan Dosen prodi Sastra Indonesia di UNS) dan Harry Sulistyo S.S., M.A (Sekretaris 2 Keluarga Alumni Prodi Sastra Indonesia (Kasindo) FIB, UNS).

Menurut Damar Aji Pangestu selaku Menteri Kajian Strategis BEM FIB, mengatakan bahwa tujuan mengadakan dialog kesusastraan ini untuk memberikan pemahaman yang lebih luas tetang sastra. “Semakin banyak ruang-ruang diskusi seputar kesusastraan semacam ini, masyarakat luas dapat lebih memahami sastra secara terlebih jauh, mengetahui, meninjau, dan memaknai seberapa besar andil kesusastraan sebagai cerminan sekaligus pembentuk ke-Indonesia-an” jelasnya.

Acara yang dipandu oleh Raden Syeh Adni (mahasiswa FIB UNS dan owner Arutala Projects ) ini diikuti oleh 142 peserta, terdiri dari mahasiswa lintas jurusan dan kalangan umum yang tertarik tentang bidang kesusastraan. Dalam pemaparannya Asep Yudha menyinggung bahwa kesusastraan bukan hanya mencerminkan ke-Indonesia-an, namun juga berperan dalam membentuk karakteristik ke-Indonesia-an dengan berbagai cara. Pemegang penghargaan dosen FIB terinspiratif  versi  Aksara BEM FIB 2020 ini juga menekankan terkait pembumian sastra melalui tiga jalur  yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.

                                                                                                                          

“Saya memberikan contoh tiga jalur alternatif pada pembumian pengenenalan sastra, yang dapat kita lakukan sebagai trigger agar kesusastraan tetap berkembang. Yang pertama jalur keluarga, dapat diterapkan pada anak melalui mendongeng, membaca buku, membuat perpustakaan keluarga, membiasakan membaca dan mendampinginya ketika mengakses internet. Jalur sekolah  dengan cara membaca sastra, menulis sastra, merekam baca puisi, menulis jurnalistik, mendiskusikan sastra dan melaporkan hasil bacaan. Terakhir jalur masyarakat dengan mengadakan pelatihan penulisan, lomba baca sastra, lomba menulis sastra, bedah buku sastra, festival sastra dan penerbitan buku sastra” Jelasnya.

 

Harry dalam materinya yang berjudul Sastra dan Wacana Keindonesiaan memaparkan bahwa tidak sedikit perkembangan sastra yang mempengaruhi kehidupan manusia, baik material maupun non material. Kemudian diungkapkan juga bagaimana sastra dalam konteks budaya selalu melahirkan karya-karya yang mengikuti kepopuleran sesuai zaman dan berpengaruh dalam kehidupan.

“Sastra dalam konteks budaya, selalu melahirkan karya kanon dan menghadirkan trend/populer yang mengikutinya sehingga membentuk jiwa zaman (zeitgeist) di Indonesia dan berpengaruh dalam kehidupan.  Sastra sebagai pembentuk keindonesiaan, memiliki peran dalam bidang-bidang lain dalam kehidupan masyarakat maupun keindonesiaan secara umum” Paparnya.

Webinar dialog kesusastraan ini diakhiri dengan pemahaman bahwa, sastra adalah cerminan budaya dan membentuk karakteristik suatu bangsa, karena itu mempertahankan produktifitas dan pelestariannya menjadi hal yang patut diutamakan. Kegiatan ini merupakan program rutin tahunan yang diadakan oleh BEM FIB, diharapkan melalui dialog ini terdapat pengetahuan dan pemahaman yang lebih segar. (Rensi)