Page Detail

Bahas Dewa Ruci, Guru Besar Prodi Sastra Indonesia FIB UNS jadi Narasumber di Jagongan RRI

Bahas Dewa Ruci, Guru Besar Prodi Sastra Indonesia FIB UNS jadi Narasumber di Jagongan RRI

Guru Besar Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum. menjadi narasumber dalam siaran Jagongan yang diadakan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta Pro 4 FM. Dalam kegiatan ini beliau mengangkat pembahasan tentang Serat Dewa Ruci, adapun kegiatan dilaksanakan pada Jumat (11/10/2024) pagi siang.

Prof. Bani melalui materinya menjabarkan tentang, filosofi dan spiritualitas seorang pencarian Tuhan yang tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Jawa dan Serat Dewa Ruci. Serat Dewa Ruci ini karya sastra klasik Jawa yang berisi refleksi spiritual pencarian Tuhan. Mayoritas mengatakan serat ini adalah karangan, tapi sebenarnya terdapat cerita faktual yang dapat diteladani,” paparnya.

Beliau juga menjelaskan tentang sejarah singkat Serat Dewa Ruci dapat dikenal khalayak masyarakat. “Serat ini muncul akhir abad ke-15, ketika Majapahit mulai surut dan pengaruh Hindu Buddha mulai melemah. Dari faktor tersebut, muncul kerinduan terkait kepercayaan zaman dulu, yaitu ketuhanan dalam budaya Jawa. Serat ini bercerita tentang perjalanan Werkudara atau Bimasena dalam mencari hakikat ketuhanan. Saat itu ia bertemu dengan Dewa Nawaruci dan terjadilah percakapan mencari keilahian,” jelas Prof. Bani.

Lebih lanjut Prof. Bani menjelaskan manunggaling kawula Gusti bukanlah bersatu dengan Tuhan tapi merasa persatuan dengan Tuhan. "Bukan berarti manusia sebagai Tuhan, tapi Tuhan ada di dalam diri manusia. Alegori ini juga bisa bertujuan untuk manusia menghormati orang tuanya karena sifat Tuhan tadi," imbuhnya.

Sebagai ahkir perbincangan Prof. Bani menyatakan bahwa kepercayaan dalam budaya Jawa ini merupakan kekayaan rohani bangsa. "Inilah kekayaan rohani bangsa kita. Ketika ada cerita alegoris, aliran kepercayaan, ternyata antar agama saling cocok (berhubungan). Kecocokan itu mungkin untuk membangun kebersamaan kita. Kekayaan rohani kita juga berangkat dari budaya yang sama mungkin cara mengolah kita yang berbeda dan tidak perlu dipertentangkan," pungkasnya. (Rilis Pers Febriyanti Tri Wahyuningtyas, Ni'ma Firman Ndhika/ Humas FIB)