Asep Yudha Wirajaya, S.S., M.A Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB UNS Turut Berpartisipasi Menulis Buku Menolak Wabah
Dosen Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNS, Asep Yudha Wirajaya, S.S., M.A ikut berpartisipasi membubuhkan tulisannya dalam buku, berisi himpunan ulasan-ulasan tentang bagaimana khazanah tradisional nusantara menyikapi berbagai penyakit atau wabah menular yang pernah terjadi di nusantara, berjudul Menolak Wabah. Menurut dosen pengampu mata kuliah digitalisasi naskah tersebut mengatakan bahwa, Menolak Wabah menawarkan aspek budaya untuk dilibatkan dalam penanganan pandemi Covid-19.
“Budaya lekat hubungannya dengan manusia dan masyarakat. Karena itu penanganan wabah penyakit terhadap manusia tidak selalu bisa melalui pendekatan eksata (kesehatan & ekonomi semata), Menolak Wabah hadir untuk memberikan opsi pada pemerintah agar melibatkan budaya dalam penanganan atau penanggulangan wabah pandemi Covid-19”ungkap Asep Yudha.
Dalam buku yang diterbitkan oleh BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival) bekerjasama dengan Penerbit Ombak Yogyakarta dibantu Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada (01/01/2021). Terdapat 105 penulis dan 85 artikel dalam Menolak Wabah Asep Yudha menulis tentang kearifan lokal berupa upacara adat daerah Menggung Tawangmangu, Karanganyar dengan judul Dhukutan: Kearifan Lokal tentang Kedaulatan Pangan di tengah Wabah yang Terlupakan.
Artikel dari dosen terinspiratif FIB tahun 2021 menurut Aksara BEM FIB UNS ini, memfokuskan pada potensi telo ungu (ubi jalar unggu) di dataran tinggi Lawu cukup besar untuk menembus pasar ekspor. “Saya ingin menyampaikan mari mulai sadar dan belajar dari kearifan lokal (yang telah diwariskan oleh nenek moyang) bahwa kita hidup harus selaras dengan alam dan jangan sesekali melawan alam. Alam dataran tinggi Lawu telah mengajarkan pada kita bahwa di kawasan tersebut tidak bisa ditanami padi, karena karekteristik tanaman padi memang memerlukan sinar matahari yang penuh. Seharusnya kita lebih peka terhadap potensi telo ungu di dataran tinggi Lawu, jika mendapatkan perhatian lebih bisa membawa keuntungan besar bagi negara” paparnya.
BWCF merupakan wahana pertemuan bagi para penulis baik fiksi maupun non fiksi, para pekerja kreatif, aktivis budaya dan keagamaan lintas iman. Pada tiap tahunnya BWCF berusaha menyajikan tema utama terpilih yang dianggap mampu merangsang para penulis untuk menyadari kembali keunikan dan kekayaan berbagai pemikiran sastra, kesenian dan religi nusantara. (Rensi)