Page Detail

Apakah Geguritan Masih Berdetak di Era Globalisasi? Liputan Khusus dengan Drs. Sutarjo, M.Hum Dosen Prodi Sastra Daerah FIB UNS

Apakah Geguritan Masih Berdetak di Era Globalisasi? Liputan Khusus dengan Drs. Sutarjo, M.Hum Dosen Prodi Sastra Daerah FIB UNS

Setapak perjalanan dunia komunikasi saat ini semakin kencang, terbukti perkembangannya menjadi lebih dinamis dan mampu menembus segala jarak serta batasan, hal tersebut dapat dijadikan pacuan gampangnya nudaya luar masuk dan diserap oleh generasi mileneal saat ini. Sebagai fakultas yang menjunjung tinggi keluhuran budaya khususnya Jawa, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta memiliki kewajiban agar budaya tetap lestari dan berkembang. Menatap era global saat ini karya-karya luar negeri kadang menjadi tolok ukur kehebatan dan menjadi nilai prestise tersendiri, lantas bagaimana karya-karya sastra daerah dan upaya FIB UNS meramu cara agar budaya Jawa tetap mendapatkan tempat bagi generasi milenial.

Pagi yang mendung tidak dapat membendung kehangatan obrolan yang kami curahkan melalui aplikasi Whatsapp dengan salah satu Dosen Program Studi (prodi) Sastra Derah FIB UNS, Drs. Sutarjo, M.Hum (25/12/2021) terkait bagaimana menyuntikkan kecintaannya untuk menikmati dan melestarikan geguritan (puisi Jawa) kepada mahasiswa. Sebagai prolog Sutarjo mengatakan bahwa geguritan tetap mampu menunjukkan tajinya walau ditengah gempuran globalisasi.

Geguritan atau puisi tradisional Jawa di era millenial dewasa ini masih hidup dan berkembang di masyarakat. Geguritan dapat difungsikan sebagai salah satu sarana pendidikan, kritik sosial, deskripsi suatu keadaan, dan sebagainya” lugas Sutarjo.

Sebagai pembuka obrolan kami, dosen yang juga dalang itu memberikan bukti bahwa geguritan tetap hidup bahkan bisa dipakai untuk memberikan nasehat di masa pandemi Covid-19 ini, melalui karya geguritan yang berjudul Njaga Lelara Corona tersirat bahwa tiap baitnya memberikan wejangan pada kita agar waspada dan tetap menaati protokol kesehatan. Adapun geguritannya sebagai berikut;

 

Tuku kupat lan mangan lemper/ Yen pengin sehat nganggo masker/

Jadah asale saka ketan/ mlebu ngomah trus wisuh tangan/

Rujakan nganggoa woh timun/ wisuh tangan nganggoa sabun/

Mangan roti rasane enak/ yen dha kumpul anjaga jarak/

Tansah ndonga lan muji dzikir/ corona enggala sumingkir

 

Geguritan masih diminati

 

Singkat dan lugas Sutarjo menegaskan bahwa geguritan dewasa ini tetap diminati oleh lintas generasi. Dosen pengampu mata kuliah tembang Jawa itu memberikan bukti bahwa geguritan masih menjadi bunga harum dalam perkembangan sastra modern saat ini, ambil saja contoh ketika puisi Jawa itu masih menjadi salah satu komponen jenis kompetisi di hari  kemerdekaan Indonesia.

“Geguritan ternyata masih diminati generasi millenial dewasa ini, hal ini terbukti apabila ada perlombaan membuat dan membaca geguritan peserta masih banyak. Salah satu bukti masih hidup dan berkembangnya geguritan adalah masih adanya kurikulum materi geguritan dalam pendidikan formal, baik pelajaran bahasa Indonesia (dengan istilah pantun) maupun bahasa daerah (Jawa, Sunda, Bali, Madura, dan sebagainya)” ungkap Sutarjo.

Selain itu Sutarjo juga menjelaskan bahwa geguritan tetap eksis di pelbagai kolom pada media cetak (koran, majalah, dan buletin). “Media masa cetak, baik harian maupun mingguan masih memuat rubrik geguritan. Dalam pepatah Jawa witing tresna lan bisa jalaran saka kulina, apabila generasi sering berhadapan, mempelajari dan membuat geguritan akan menjadi senang serta pandai membuatnya” tuturnya.

 

Sastra Daerah FIB UNS berikan geguritan nyawa

Karya sastra dalam perjalanannya sering mengalamai pasang surut dari segi kepopuleran dan keproduktifitasan pengarangnya, begitu juga geguritan. Lantas bagaimana upaya Sastra Daerah FIB UNS meramu puisi Jawa itu agar dikenal dan bahkan dicipta oleh mahasiswanya, dari keterangan Sutarjo membeberkan bahwa Sastra Daerah memberikan porsi secara komprehensif pada geguritan untuk mahasiswa pelajari.

“Para mahasiswa diberi tugas untuk membuat geguritan dengan tema yang telah ditentukan atau tema bebas, mahasiswa menentukan sendiri, dan hasilnya didiskusikan  dalam perkuliahan. Dalam akhir perkuliahan ditutup dengan geguritan atau parikan. Misalnya: Saben esuk gawe grabah/ wayah sore nandur pari cukup anggone kuliah muga bisa migunani”

Sastra Daerah FIB UNS juga gayung bersambut dengan Balai Bahasa Jawa Tengah  mengadakan perlombaan penulisan geguritan yang diterbitkan dalam bentuk buku, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, beberapa hal tersebut merupakan bukti bahwa geguritan masih berdaya sampai saat ini.

 

Imajiner dan membawa makna

Sebuah karya elegannya mengandung makna yang dapat digali lebih dalam bagi para penikmatnya, sama halnya seperti geguritan. Puisi bisa muncul sebagai bias penyeka kegaduhan dan kritik sosial, geguritan juga memiliki keindahan secara tersurat dan tersirat di dalamnya terdapat struktur lahir dan batin.

“Struktur lahir terlihat dalam rangkaian kata-kata atau kalimat yang sangat indah dan runtut, baik keruntutan bunyi vokal, konsonan maupun pengulangan kata. Dalam bahasa Jawa dinamakan  purwakanthi swara, sastra, dan purwakanthi basa atau lumaksita. Struktur batin, terlihat dalam diksi yang digunakan dengan lelewaning basa  atau gaya bahasa, bahasa figurative  cenderung menggunakan kata-kata kias, makna konotatif atau tembung entar” jelas Sutarjo.

Perbincangan terbatas melalui ruang obrolan virtual tersebut Sutarjo juga menjelaskan perbedaan puisi dan geguritan. Istilah geguritan (dalam bahasa Jawa) dan puisi (dalam bahasa Indonesia) pada hakikatnya sama, maknanya sama. Masing-masing ada 2 (dua) macam, yaitu  tradisi dan modern.  Jenis tradisi dinamakan puisi atau geguritan gagrag lami ( gaya lama) yang masih terikat dengan aturan, yaitu kesamaan jumlah suku kata (guru wanda), baris (guru gatra), dan keruntutan bunyi vokal pada setiap akhir baris (guru lagu/dhong-dhing) dalam setiap satu bait.

Puisi atau geguritan gagrag enggal (gaya baru, modern), dalam pembuatan dan  penulisannya bebas, tidak terikat oleh aturan. Hal tersebut ada pendapat, bahwa masyarakat tradisional cenderung patuh kepada aturan, sebaliknya bahwa masyarakat modern cenderung mengutamakan kebebasan, dan kurang patuh terhadap aturan, namun hal ini perlu diteliti lebih mendalam. Perbedaan yang terlihat dalam puisi dan geguritan selain dalam penggunaan bahasa adalah unsur rasa atau perasaan (unsur batin).

Geguritan merupakan ungkapan cipta, rasa, karsa yang diejawantahkan dalam dunia kata-kata dengan berbagai suasana kejiwaan yang digambarkan, sehingga dalam geguritan tercermin suasana marah, asmara, bahagia, galau, susah, dan indah. “Karya terdapat makna yang membawa suasana hati pengarang ataupun masalah sosial” ungkap Sutarjo.

 

Geguritan dan pewayangan

Geguritan yang berkaitan langsung dengan pewayangan adalah unsur bahasa, yaitu dalam sulukan, janturan, pocapan, dan antawacana/ginem yang penuh unsur-unsur puitis lirik-lirik lagu yang amat dekat dengan geguritan. Kegunaan geguritan dalam dunia pewayangan adalah dalam membangun dan mempertajam faktor estetis, filosofis, unsur tontonan dan tuntunan, sehingga bahasanya indah, puitis, dan enak didengarkan.

“Keindahan kalimat adalah bukti dimana geguritan dan sajian pewayangan berhubungan erat, baik dalam dialog antar tokoh wayang maupun dalam lirik-lirik lagu dolanan. Misalnya dalam janturan penggunaan bahasanya sangat estetis “Nagara Dwaraka nagara wibawa, gemah ripah loh jinawi kerta tata raharja. Nagara kang gedhe obore, dhuwur kukuse, adoh kuncarane” ungkap Sutarjo.

Edukasikan bagi generasi milenial

Bagi kalangan akademisi khususnya di ruang lingkup ilmu kajian budaya dan sastra Jawa geguritan memang memiliki tempat wangi kemudian bersemi, namun bagaimana untuk generasi di luar circle tersebut, menurut Sutarjo kita wajib memberikan edukasi ataupun pemahaman tentang kekayaan kearifan lokal dalam geguritan secara utuh/totalitas, kepada generasi penerus bangsa.

“Nilai dulce et utile atau sweet and useful yang terkandung dalam geguritan terus diwariskan dan dikembangkan di masyarakat secara terpadu melalui triwiyata, yaitu dalam keluarga, masyarakat, dan pendididikan formal. Dewasa ini perlu didukung oleh media masa (cetak, audio visual, digital), dan para wartawan sering meliput aktivitas geguritan. Instansi pemerintahan dan lembaga-lembaga kependidikan terkait selalu memberikan motivasi dan stimulus untuk mengadakan lomba membuat dan membaca geguritan, menulis buku atau antologi geguritan secara berkesinambungan.” terang  Sutarjo.

Dengan berbagai usaha dan upaya tersebut Sutarjo percaya bahawa rasa senang, peduli dan empati serta cinta generasi milenial terhadap geguritan akan tumbuh dan bahkan terpanggil serta bertanggung jawab rumangsa handarbeni (merasa memiliki/merawat) untuk  melestarikan dan mengembangkan geguritan di bumi pertiwi NKRI, dengan dasar negara Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.  (Rensi)